widgeo.net

Ahlan Wa Sahlan

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat

PERINGATAN

“Hendaklah ada diantara kalian suatu umat yang mengajak kepada kebaikan, mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran: 104)

TANGGAL MASEHI

JAM



Rekaman Kajian Jangan Sekedar “Islam KTP”

Kamis, 22 Maret 2012 0 komentar
Rekaman dauroh Jangan Sekedar “Islam KTP” (membahas Kitab Nawaqidul Islam karya Asy-SyaikhMuhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullaah-) bersama Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Lc. -hafizhahullaah- pada hari Sabtu, 17 Rabi’uts Tsani 1433 (10 Maret 2012) di Masjid Agung Baitussalam, Kompleks Alun-Alun Purwokerto.

Berikut adalah link download kajiannya:
Semoga bermanfaat barokallahu fiikum
Sumber: Blog Abu Salman

Baca selengkapnya »

Tauhid Uluhiyah Inti Dakwah Para Nabi

Jumat, 10 Februari 2012 0 komentar
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Redaksi Buletin Istiqomah
Pembaca yang budiman, pada edisi yang telah lalu, kita telah bahas makna tauhid rubibiyah. Maka pada edisi kali ini, kami lanjutkan pembahasan dengan tema tauhid uluhiyah.
1.         Uluhiyah Adalah Ibadah.
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah  dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub (mendekatkan diri) dengan hal yang disyari’atkan seperti do’a, nadzar, qurban, roja’ (pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali/taubat).
Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36).
Dalam ayat lain, “Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya’: 25)
Setiap rasul selalu melalui dakwahnya dengan perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan lain-lain. Allah  mengisahkan, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85). Dan juga kisah Nabi Ibrahim -‘alaihissalam-, “Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada kepada-Nya’.” (Al-Ankabut: 16)
Dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad , “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Az-Zumar: 11)
Rasulullah  sendiri juga bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak untuk disembah kecuali Allah  dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban awal sebagai mukallaf (orang Islam yang telah dikenai beban syari’at) adalah bersaksi laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah ), serta mengamalkannya. Allah  berfirman, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu..” (QS.Muhammad: 19)
Dan kewajiban pertama bagi orang yang ingin masuk Islam adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah  yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).
Juga disebut “Tauhid Ibadah”, karena ‘ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah  secara ikhlas, karena ketergantungan mereka kepada-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, kebutuhan seorang hamba untuk menyembah Allah  tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikiaskan, tetapi dari sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan dan minuman. Akan tetapi diantara keduanya ini terdapat perbedaan mendasar. Karena hakikat seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan Allah  yang tiada Tuhan (yang wajib disembah) selain-Nya. Ia tidak bisa tenang di dunia kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenangan tanpa Allah , maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi  akan berpindah-pindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang kepada orang lain. Adapun Tuhannya maka Dia dibutuhkan setiap saat dan setiap waktu, di manapun ia berada maka Dia selalu bersamanya.” (Majmu’ Fatawa, 1/24)
Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena kalau ia tidak terwujud, maka bercokolah lawannya, yaitu syirik.
Sendangkan Allah  berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik.” (QS. An-Nisa: 48)
Dan juga, “…seandainya  mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Dan juga, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalamu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dan tauhid jenis ini adalah kewajiban pertama segenap hamba. Allah  berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapakmu …” (QS. An-Nisa: 36)
2.         Makna Syahadat لا اله الّا الله
Yaitu ber-i’tiqad (meyakini) dan berikrar bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah , menta’ati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah , siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah”.
Khabar لا harus di taqdirkan بِحَقٍّ (yang haq),  tidak boleh ditaqdirkan dengan  مَوْجُوْدٌ (ada).
Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah  banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah . Ini tentu kebathilan yang nyata.
Pembaca yang budiman, jika kita perhatikan seksama, banyak tersebar keyakinan-keyakinan yang salah di masyarakat kita. Kalimat لا اله الّا الله telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:
            a.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada sesembahan kecuali Allah”. Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang haq maupun yang batil itu adalah Allah.
            b.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada pencipta selain Allah”. Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.
            c.         لا اله الّا الله artinya:
“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah”. Ini juga sebagian dari makna kalimat لا اله الّا الله. Tetapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran di atas adalah batil dan kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلاَّ الله tidak ada sesembahan yang haq selain Allah) seperti tersebut di atas.
3.         Makna Syahadat  أنّ محمّد رسول الله
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah  kecuali dengan apa yang disyari’atkan.
4.         Syarat-syarat لا اله الّا الله
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
a.         Ilmu (mengetahui), yang menafikan jahl (kebodohan). Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Allah  berfirman, “… akan tetapi (orang yang dapat member syafaat ialah) orang yang mengakui hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkan, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.
b.         Yaqin (yakin) yang menafikan syak (keraguan). Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan syahadat ini. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah  berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu …” (QS. Al-Hujurat: 15)
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi  bersabda, “Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebun) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.” (HR. Al-Bukhari). Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
c.         Qabul (Menerima), yang menafikan radd (penolakan). Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah , “Sesunggunya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shafaat: 35-36)
Ini  seperti halnya menyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna laa ilaaha illallah.
d.         Inqiyaad (tunduk dan patuh dengan kandungan dan makna syahadat) yang menafikan tark (meninggalkan). Allah  berfirman, “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah , sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘buhul tali yang kuat’ (Al-’Urwatul Wutsqa) pada ayat diatas adalah laa ilaaha illallah. Dan makna ‘menyerahkan dirinya’ (yuslim wajhahu) adalah yanqadu (patuh, pasrah).
e.         Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkannya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah  berfirman, “Diantara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 8-10)
f.          Ikhlas, yang menafikan syirik. Yaitu membersihakn amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban , Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah karena menginginkan ridha Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
g.         Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian). Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya. Allah  berfirman, “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Maka ahluttauhid mencintai Allah  dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlu syirik mencintai Allah  dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.
5.         Syarat-syarat أنّ محمّد رسول الله
            a.         Mengkui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati,
            b.         Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan,
            c.         Mengikutinya dan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya,
            d.         Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang,
            e.         Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orang tua, serta seluruh umat manusia,
            f.          Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.
Rujukan : Kitab Tauhid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]
Sumber: www.almadinah.or.id
Baca selengkapnya »

Pintu Ar-Rayyan Khusus Bagi yang Berpuasa

Rabu, 08 Februari 2012 0 komentar
pintu ar rayyan
 PINTU AR-RAYYAN TERKHUSUS BAGI ORANG-ORANG YANG BERPUASA
Oleh: Al-Ustadz Abu Hafsh Marwan

Sajian ini adalah kelanjutan dari materi  lalu dengan judul : “MASUKLAH KE SURGA DARI PINTU MANA SAJA YANG ENGKAU KEHENDAKI”.

Jika seorang wanita berpuasa ramadhan.

Adalah perkara yang kedua dari empat perkara yang seyogyanya dijaga oleh setiap muslimah sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdurrahman bin ‘Auf –radhiallahu’anhu- ia berkata : Bahwa Rasulullah shallalahu’alaihi Wa sallam bersabda : Jika seorang wanita menjaga sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepada wanita tersebut : “Masuklah ke surga dari pintu mana saja  sesuai yang engkau kehendaki”.

Dari sejumlah perkara yang wajib atas para wanita adalah puasa di bulan Ramadhan. Berkaitan dengan kewajiban tersebut, seorang yang menunaikan kewajiban puasa ramadhan sungguh akan meraih pahala dan keutamaan yang besar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah – radhiallahu’anhu- ia berkata : bahwa nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“ Barangsiapa berpuasa ramadhan dengan iman dan berharap pahala dari sisi Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu”

Ibadah puasa adalah termasuk ibadah utama, seseorang menahan makan dan minum serta menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa dan yang merusakkan pahalanya. Semua itu dilakukan dengan niat dalam rangka mencari wajah Allah Ta’aala semata.

aSy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam –rahimahullah- bertutur : Puasa adalah termasuk ibadah yang utama, karena pada amalan puasa itu terkumpul tiga jenis kesabaran :
  1. Kesabaran di atas ketaatan kepada Allah Ta’aala.
  2. Kesabaran (dengan menahan diri) dari berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’aala.
  3. Kesabaran terhadap ketentuan taqdir Allah Ta’aala.

Puasa adalah perisai, puasa ramadhan adalah kafarah (penghapus) atas dosa-dosa kecil selama setahun selama seseorang yang menunaikannya menjauhi dosa-dosa besar, dan dengan puasa akan dilipatgandakan pahalanya. Dan terkhusus bagi seorang yang menunaikan puasa akan masuk surga dari pintu khusus yang dinamakan oleh Allah yaitu Ar-Rayyan .
Dari Sahl bin Sa’ad –radhiallahu’anhu- ia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda : “Sesungguhnya di jannah ada satu pintu yang dinamakan Ar-Rayyan, akan masuk dari pintu tersebut nanti pada hari kiamat orang-orang yang dulunya berpuasa,dan tidaklah masuk dari pintu tersebut selain mereka. Dikatakan : “Mana orang-orang yang dulunya berpuasa? Sehingga mereka masuk dari pintu tersebut, dan jika mereka telah masuk semua, maka ditutuplah pintu tersebut dan tidak ada seorangpun yang masuk selain mereka”.

Jika seorang muslimah telah menunaikan puasa ramadhan dan menegakkan ahkam (hukum-hukum) yang berkaitan dengan puasa ramadhan, maka hendaklah ia tidak melalaikan dari mengerjakan puasa nafilah, sampai ia mendapatkan kecintaan Allah Ta’aala. Seperti puasa 6 hari di bulan sawal, puasa‘asyuraa (tanggal 9 dan 10 muharram ), puasa hari senin dan kamis, puasa 3 hari setiap bulan  dan memperbanyak puasa di bulan sya’ban dan puasa sunnah yang selainnya yang dituntunkan oleh syari’ah.

Wallahu Ta’aala a’lam.

Baca selengkapnya »

Download rekaman dauroh hari ke-2 dengan Tema Sebab-Sebab Perselisihan Ahlussunnah di Masjid UNJ Rawamangun, Jakarta Timur pada hari Ahad tanggal 05 Februari 2012 bersama Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi -hafizhahullaah- (Pengasuh Ma’had As-Sunnah Makassar).

0 komentar
Baca selengkapnya »

Luasnya Rahmat dan Ampunan Allah (renungan kisah pembunuh 100 jiwa)

Sabtu, 28 Januari 2012 0 komentar

Luasnya Rahmat dan Ampunan Allah (renungan kisah pembunuh 100 jiwa)

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No:33/VIII/IX/1432
       Sebesar dan sebanyak apapun dosa yang dilakukan oleh manusia, kalau dia mau bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, maka pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya.
       Hal inilah yang tercermin dalam sebuah kisah yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam sebuah hadits (yang artinya):
“Pada zaman sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang. Kemudian dia bertanya, siapa penduduk negeri ini yang paling berilmu, maka ditunjukkanlah kepada seorang rahib (pendeta), sehingga orang tadi pun mendatanginya dan menceritakan bahwa dirinya telah membunuh 99 orang, apakah ada pintu taubat baginya? Ternyata si rahib tadi menjawab, “Tidak.” Maka rahib itu pun dibunuh juga sehingga genaplah 100 orang yang telah dia bunuh.
Kemudian dia bertanya lagi, siapa penduduk negeri ini yang paling berilmu, maka ditunjukkanlah padanya seorang alim.
Setelah bertemu dengan alim tersebut, laki-laki tadi menceritakan bahwa dirinya telah membunuh 100 orang, apakah ada pintu taubat baginya? Orang alim itu menjawab, “Ya, siapa yang bisa menghalangi antara seseorang dengan taubat? Pergilah engkau ke negeri itu, karena di sana terdapat orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beribadahlah engkau kepada Allah bersama mereka, dan janganlah sekali-kali engkau kembali ke negerimu karena negerimu itu adalah negeri yang buruk.”
Kemudian laki-laki itu berangkat menuju negeri yang dimaksud, namun di tengah perjalanan, ajal menjemputnya. Maka malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih (siapa yang berhak membawa ruh orang tersebut).
Malaikat rahmat berkata, “Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Malaikat adzab berkata, “Dia belum beramal kebaikan sedikit pun.”
Kemudian datanglah malaikat yang menjelma menjadi manusia, maka mereka menjadikan malaikat tadi sebagai penengah untuk memutuskan permasalahan yang mereka perselisihkan. Malaikat itu berkata, “Ukurlah jarak antara tempat meninggalnya dengan negeri asalnya, dan jarak antara tempat meninggalnya dengan negeri tujuannya, mana yang lebih dekat maka itulah bagiannya.”
Mereka mengukurnya, ternyata mereka dapati bahwa tempat meninggalnya itu lebih dekat ke negeri tujuannya -dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa selisihnya hanya satu jengkal saja, maka Allah pun mengampuninya-, sehingga malaikat rahmat lah yang membawa ruh orang tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih keduanya. Dalam kitab Riyadhush Shalihin, Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah meletakkan hadits tersebut pada bab At-Taubah, hadits nomor 20.
Kalau kita membaca dan mengkaji kisah di atas, banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Karena semua kisah-kisah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an maupun yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebutkan dalam haditsnya, bukan semata-mata hanya cerita untuk bunga majelis saja, namun di dalamnya terkandung pelajaran dan nasehat berharga yang sangat bermanfaat bagi siapa saja yang mau mengkajinya.
Satu pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah di atas terkait dengan tema pembahasan buletin kita kali ini adalah luasnya rahmat dan ampunan Allah kepada hamba-Nya. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dia akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Walaupun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan, kalau seorang hamba memiliki tekad dan kemauan yang sungguh-sungguh untuk bertaubat kepada-Nya, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dan mencurahkan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada hamba tadi.
Perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki yang diceritakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits di atas sangatlah keji. Membunuh seratus orang, bukanlah suatu kemungkaran yang kecil. Namun ketika tampak kesungguhan orang itu untuk bertaubat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengampuninya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah buktikan janji-Nya ketika berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar: 53)
Manakala seseorang telah banyak berbuat dosa dan maksiat, tidak sepantasnya bagi dia untuk berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia harus husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bahkan harus yakin bahwa Dzat Yang Maha Pengampun pasti akan mencurahkan ampunan kepadanya kalau dia mau bertaubat dan kembali kepada-Nya.
Bisa dibayangkan kalau jiwanya sudah diselimuti perasaan putus asa, maka tidak menutup kemungkinan dia akan terus bergelimang dalam kemaksiatannya itu, sehingga semakin bertumpuklah beban dosa yang harus dia pikul.
Oleh karena itulah di antara kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah dibukanya pintu taubat selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin masuk ke dalamnya.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا عِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian banyak berbuat kesalahan (dosa) malam dan siang, dan Aku akan mengampuni dosa-dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni kalian.” (HR. Muslim)
Harus diakui bahwa setiap makhluk yang bernama manusia pasti banyak melakukan kesalahan dan dosa. Namun sangatlah tidak pantas jika hal ini kemudian menghalangi seseorang dari bertaubat kepada-Nya. Rasulullah n bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua anak Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru kaum mukminin dalam firman-Nya (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).”(At-Tahrim:8)
Menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman pun pasti pernah dan bahkan sering, atau minimalnya masih ada noda dosa yang melekat pada diri mereka dan belum bertaubat darinya. Setiap saat, ada saja kesalahan yang diperbuatnya. Oleh karena itulah, perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas berlaku terus menerus. Setiap waktu, seorang mukmin harus banyak bertaubat kepada-Nya dengan taubatan nashuha .
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah, Dia tidak akan menyia-nyiakan upaya hamba-Nya yang hendak bertaubat dengan taubatan nashuha . Dalam lanjutan surat At-Tahrim ayat 8 di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan janji-Nya (yang artinya):
“Mudah-mudahan Rabb kalian akan menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Para ulama menjelaskan bahwa taubatan nashuha  adalah meninggalkan kemaksiatan tersebut, menyesalinya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Riyadhush Shalihin)
Yang terpenting bagi seorang yang hendak bertaubat adalah dia harus membekali dirinya dengan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakin, dan berbaik sangka kepada-Nya bahwa Dia pasti akan menerima taubatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan ampunan kepada hamba-Nya yang bertaubat jika diiringi dengan iman yang benar dan keyakinan yang kuat dengan penuh pengharapan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berjanji pula untuk menerima taubat orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيْكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam (manusia), sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan ampuni engkau, apapun yang engkau perbuat, Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalau dosa-dosa engkau mencapai awan di langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau mendatangi-Ku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan (dosa), kemudian ketika engkau berjumpa dengan-Ku dalam keadaan engkau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, maka pasti Aku akan memberikan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. At-Tirmidzi)
Yang tidak kalah pentingnya juga adalah, ketika seseorang terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan dia ingin bertaubat darinya, maka dia harus bersegera meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan tunda-tunda lagi. Bersegeralah untuk meraih ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum ajal datang. Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang tahu kapan saatnya dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Bersegera untuk bertaubat ketika berbuat dosa merupakan salah satu ciri orang bertakwa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan surga untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan ciri-ciri mereka itu dalam surat Ali ‘Imran ayat 133-136, yang di antaranya adalah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Ali ‘Imran: 135)
Kata Al-Imam Ibnu Katsir v: “Yaitu ketika berbuat dosa, mereka segera mengiringinya dengan taubat dan istighfar.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Di antara kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya juga adalah apabila seorang hamba sudah berniat untuk melakukan amal kebajikan, namun dia belum sempat melakukannya, maka dia tetap mendapatkan pahala karena niat baiknya tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berniat untuk melakukan satu kebaikan dan dia belum sempat melakukannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Barangsiapa yang berniat untuk melakukan kebaikan dan diapun juga melakukannya, maka akan dicatat baginya sepuluh kebaikan sampai dilipatgandakan 700 kali kebaikan. Dan barangsiapa yang berniat melakukan kejelekan dan dia belum sempat melakukannya, tidak akan dicatat baginya kejelekan, namun jika melakukannya, pasti akan dicatat baginya kejelekan.” (HR. Muslim)
Si pembunuh tadi belum sempat melakukan amal kebaikan karena ajal lebih dahulu mendatanginya. Namun kepergian dia dari kampung halamannya menuju negeri yang penduduknya adalah orang-orang shalih sudah menunjukkan niat baik dan tekad yang kuat untuk meninggalkan kejahatan dan menggantinya dengan kebajikan. Dan akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberikan ampunan kepadanya.
Demikianlah, ketika seseorang sudah bertekad untuk melakukan amal kebajikan, namun kematian lebih dahulu mendatanginya, dia tetap mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun dia belum sempat menunaikan kebaikan tadi.
Sampai di sini kita bisa menyimpulkan betapa luas rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Baca selengkapnya »

Dauroh MPR Yogyakarta: Sebab-Sebab Penyimpangan

Senin, 16 Januari 2012 0 komentar
Kajian Yogyakarta: Ust Dzulqarnain M.Sunusi: SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN: Senin 29 Shafar 1433 H
Bismillaah.
Dengan mengharap wajah Allah Ta’ala, hadirilah Kajian sehari dengan tema:
SEBAB SEBAB PENYIMPANGAN
Pembicara :
Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
(Redaktur Ahli Jurnal Asy Syifa: www.asysyifa.com dan Penulis Buku: ANTARA JIHAD dan TERORISME: www.jihadbukankenistaan.com)
Waktu: Hari Senin 29 Shafar 1433 H /23 Januari 2012,
13:30 WIB – 21:00 WIB
Tempat : ( MPR ) Masjid Pogung Raya Yogyakarta.
Terbuka Umum Untuk Putra – Putri
Info: 085742072071-08994179377
Siaran LIVE Radio Syiar Sunnah: www.syiarsunnah.com

Baca selengkapnya »

Fase Kehidupan Manusia

0 komentar
Oleh Al-Ustadz Muhammad Afifuddin dalam kunjungan beliau ke Ma’had As-Salafy, Jember..



Pendahuluan
Saudaraku seiman, semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua. Baru saja kita meninggalkan tahun 1432 Hijriyyah. Tak terasa usia kita telah bertambah. Namun saudaraku, sadarkah kita bahwa umur kita telah berkurang dan kematian semakin mendekati kita?
Sehingga seorang yang cerdas dia akan berusaha mengevaluasi dirinya. Dia melihat kekurangan yang ada pada masa lalunya untuk kemudian berusaha memperbaikinya pada masa-masa mendatang.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Allah, Dia-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”(Ar-Rum: 54)
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullaah ketika menjelaskan ayat ini berkata, “Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan (dengan ayat ini -pent) atas perubahan-perubahan (fase) yang terjadi pada manusia, terkait dengan kondisi mereka tahapan demi tahapan.” (Tafsir Ibnu Katsir 6/327)

LimaFase Kehidupan Seorang Insan
Saudara pembaca, setiap insan yang dikaruniai umur panjang dia pasti akan melalui, atau melihat orang lain melalui beberapa tahapan dalam hidupnya.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullaah dalam kitabnya Tanbihun Na’imil Ghamir ala Mawasimil ‘Umur menyebutkan ada 5 tahapan yang mesti dilalui oleh setiap insan. Setiap tahapan membutuhkan ta`ammul (perenungan) dan tafakkur (memikirkan), agar masing-masing kita bisa melakukan yang terbaik pada setiap tahapan yang kita lalui tersebut. Berikut penjelasannya:

1.Fase pertama: Dari dilahirkan hingga usia baligh (kurang-lebih 15 tahun)
Masa ini adalah masa-masa untuk menanam, yakni fase pembentukan anak yang dibentuk dengan selera dan keinginan orang tuanya masing-masing. Maka pada masa ini tanggung jawab pendidikan mereka lebih ditujukan pada orang tua atau wali dari masing-masing anak tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi sallam:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan anaktersebut seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR.Muslim)
Sang anak lahir dalam keadaan mengetahui apa-apa, tidak mengerti apa saja yang bisa memberi manfaat maupun yang mendatangkan bahaya baginya.
Sehingga pada tahapan ini sangat bergantung pada pendidikan orang tua kepada anak-anaknya masing-masing. Jika dia mendidik mereka dengan Tarbiyyah Maddiyyah” (pendidikan materi/duniawi), maka anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang berorientasi ke dunia (materi) saja. Yang dipikirkan dan dikerjakannya adalah demi kepentingan duniawi atau meraih materi semata, sebagaimana yang terjadi pada kaum Hedonis.
Demikian pula sebaliknya, jika yang diupayakan oleh orang tuanya adalah Tarbiyah Diniyyah (pendidikan agama), maka dengan izzin Allah subhaanahu wa ta’aalaa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shalih atau shalihah.
Maka yang dituntut untuk berperan aktif pada fase ini adalah para orang tua, agar mereka senantiasa memberikan Tarbiyah Diniyyah kepada anak mereka, sehingga dihasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Sebagaimana yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa perintahkan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(At-Tahrim: 6)
Dengan cara mengajari dan membenahi akidah (keyakinan), ibadah, muamalah, akhlak, dan adab sang anak, sesuai tuntunan syariat.
Karena masa-masa ini merupakan tahapan yang menentukan bagi seseorang. Jika orang tua mampu (dengan izin Allah) mencetak anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka Insya Allah pada tahap berikutnya akan lebih mudah untuk dilalui. Namun jika orang tuanya gagal dalam mendidik sang anak pada tahapan ini, maka pada fase-fase berikutnya akan jauh lebih sulit untuk dilalui.

2. Fase kedua: Dari usia baligh sampai akhir usia syabab (35 tahun)
Pada usia ini seseorang sudah menjadi mukallaf (terbebani syariat). diperintah oleh syariat untuk mengerjakan sesuatu atau diperintah oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu. Dalam tahapan ini bisa kita sebut dengan masa jihad, yaitu jihad melawan nafsu dan iblis beserta bala tentaranya. Sehingga dalam masa ini seseorang dituntut bersungguh-sungguh untuk berperang melawan hawa nafsunya.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini merupakan usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu, belum bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih mengutamakan dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini tergantung dari keberhasilan fase yang pertama.
Jika orang tuanya berhasil mendidik dia pada fase pertama, maka pada masa ini akan lebih mudah untuk mengarahkan sang anak. Mudah bagi dia untuk mengenali syahwat yang menggodanya, juga mudah baginya untuk mengenali syubuhat (kerancuan-kerancuan) yang ada. Dia akan menjadi pemuda yang shalih, siap berperang melawan hawa nafsunya. Yang seperti ini karena keberhasilan tarbiyah (pendidikan) yang sebelumnya.
Jika dia berhasil melewati fase ini maka dia tergolong pemuda yang mulia, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rabb Semesta Alam subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tujuh golongan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa akan menaungi mereka di hari kiamat, yang ketika itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (di antaranya) seorang pemuda yang dia tumbuh berkembang dalam keadaan taat beribadah pada Rabb-nya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini menjelaskan adanya pemuda yang berhasil melalui fase kedua tadi, menang dalam jihad melawan hawa nafsunya. Dia meraih keutamaan ini dengan melakukan perjuangan yang berat, dengan penuh kesabaran, karena jarang ada kawula muda yang rela mengorbankan waktunya untuk duduk, tafaqquh fid din (belajar agama), dan melakukan ketaatan-ketaatan lainnya. Ini jika dibandingkan dengan mayoritas kawula muda yang hanyut dalam kemaksiatan, berkubang dalam syahwat, hura-hura, foya-foya dan semisalnya.
Jika pada fase kedua ini berhasil maka akan lebih mudah bagi dia untuk melalui fase berikutnya. Namun sebaliknya, jika gagal maka akan lebih mengerikan. Karena dia akan menjadi seorang pemuda yang hanya memperturutkan hawa nafsunya, larut dalam melakukan berbagai kemaksiatan, dan kemungkaran. Wal ‘iyadzu billah

3. Fase ketiga: Dari usia 35 – 50 tahun
Kita bisa menyebutnya dengan masa “aji mumpung,” bisa bermakna positif dan bisa negatif. Jika sebelumnya dia berhasil menjadi pemuda yang shalih, maka pada usia ini dia akan menggunakannya secara positif. Mumpung (selagi masih ada waktu) untuk meneruskan dan terus melakukan amal shalih, mumpung masih memiliki kekuatan dari sisa-sisa masa mudanya, untuk terus di atas amalan-amalan ketaatan. Karena demikianlah yang dia dapatkan dari tarbiyah (pendidikan) sebelumnya.
Di atas umur 40 tahun ketika uban mulai tumbuh, rambut, dan jenggotnya mulai memutih, maka dia akan banyak melakukan muhasabah (introspeksi diri). Dia mencari apa yang kurang pada masa lalunya untuk kemudian dilengkapi, jika ada yang salah maka dia cepat ruju’ (kembali) dan bertaubat kepada Allahk. Demikianlah keadaan seorang yang shalih.
Namun sebaliknya jika pada fase sebelumnya gagal, maka ini pun menjadi aji mumpung yang negatif. Mumpung belum terlalu tua, mumpung masih punya sisa-sisa kekuatan, maka sekalian saja untuk melampiaskan hawa nafsunya, nanti saja bertaubatnya kalau sudah tua. Seolah-olah ajal atau kematian ada di tangannya. Kondisinya semakin mengerikan, kita berlindung kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa dari keadaan yang seperti ini.

4.Fase keempat: Dari usia 50 – 70 tahun
Pada masa ini seorang yang shalih dan shalihah maka dia akan menggencarkan muhasabah (introspeksi diri). Dia memiliki program untuk mempersiapkan kedatangan maut, banyak mengingat mati, dan memperbanyak amal shalih.
Adapun sebaliknya seseorang yang pada fase-fase sebelumnya gagal dan pada usia ini dia masih berprinsip“aji mumpung,” maka sungguh keterlaluan. Karena secara fisik sudah tidak memadai baginya, karena umumnya sudah renta, ringkih, dan lemah. Secara usia pun sudah tidak sepantasnya.
Jika pada masa-masa ini dia masih senang melakukan dosa dan kemaksiatan, maka dalam islam orang semacam ini akan dilipatgandakan hukuman untuknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
“Ada tiga jenis manusia, yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa tidak mengajak mereka berbicara pada hari kiamat, tidak pula melihat mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih, (satu diantaranya -pent) seorang tua renta yang melakukan zina.”(HR. Muslim no. 107)
Diterangkan oleh para ulama, dilipatgandakan hukuman baginya karena faktor-faktor yang mendorong dia untuk berzina sudah sangat lemah, sudah tidak sepadan dengan umurnya. Tetapi ketika dia masih senang melakukan perbuatan dosa semisal ini, maka dia termasuk orang tua yang celaka.

5. Fase kelima Dari usia 70 tahun keatas (masa renta dan umumnya pikun)
Pada fase ini seorang yang shalih dia akan memperbanyak istighfar (meminta ampun) dan taubatnya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, meningkatkan amal ibadahnya, serta memohon untuk mendapatkan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).

Penutup
Maka saudaraku, yang penting bagi kita adalah mengetahui pada fase ke berapakah sekarang kita berada? Sehingga bisa mengoreksi dan memperbaiki keadaan kita masing-masing. Ketika dianugerahkan kepada kita keadaan yang baik, maka perbanyaklah syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Namun sebaliknya, jika kondisi buruk yang mencengkeram kita, maka bersegeralah untuk memperbaikinya.
Wallahu A’lam bis Shawab

Catatan:
Artikel dengan judul ini merupakan hasil traskrip dari muhadharah ilmiah yang disampaik oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin dalam kunjungan beliau ke Ma’had As-Salafy, Jember..
Transkrip oleh: Abu ‘Umar Muhammad
Baca selengkapnya »

KRITIK DAN SARAN

Rekaman Dauroh Fikih Muamalah Sururiyyah Hizbiyyah

بسم الله الرحمن الرحيم

Rekaman dauroh Fikih Muamalah Sururiyyah Hizbiyyah di Masjid Al-I’thisom, Sudirman, Jakarta pada hari Sabtu tanggal 04 Februari 2012 bersama Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi -hafizhahullaah- (Pengasuh Ma’had As-Sunnah Makassar)

Berikut adalah link download kajiannya:

Rekaman dauroh hari ke-2 dengan Tema Sebab-Sebab Perselisihan Ahlussunnah di Masjid UNJ Rawamangun, Jakarta Timur pada hari Ahad tanggal 05 Februari 2012 bersama Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi -hafizhahullaah- (Pengasuh Ma’had As-Sunnah Makassar)

Link downloadnya:

Tambahan :

Rekaman kajian dengan tema Keutamaan Menjaga Amanah di TK Annash, Pejaten, Jakarta Selatan pada hari Kamis 2 Februari 2012 bersama Al-Ustadz Dzulqarnain.

Link downloadnya:

Semoga bermanfaat baokallahu fiikum

Sumber: Problema Muslim

thank you

pengumuman

بسم الله الرحمن الرحيم